Laporan pemantauan independen terbaru – Menguji Kepatuhan Pemegang Izin Pemanfaatan dan Perdagangan Hasil Hutan Kayu – mengungkap praktik Illegal logging di sejumlah kawasan hutan, serta indikasi pelanggaran hukum yang kerap dilakukan oleh perusahaan pemegang Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) maupun perusahaan yang belum bersertifikat.
Pada periode Oktober 2019 sampai Juni 2020, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menguji pelaksanan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) melalui serangkaian analisis rantai pasok bahan baku industri primer dan pemantauan lapangan di 8 (delapan) provinsi. Hasil Pemantauan JPIK menemukan sejumlah indikasi pelanggaran di tingkat hulu, yang meliputi:
- Kayu-kayu ilegal yang berasal dari Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Provinsi Riau dengan mudah beredar, diangkut untuk memenuhi suplai bahan baku beberapa industri primer yang perizinannya diragukan yang berada di Simpang Kambing (Teratak Buluh) dan Lubuk Siam, Kabupaten Kampar.
- Kasus serupa ditemukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis, di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Ditemukan kayu berbentuk balok dengan panjang ± 4 meter di Dusun Tujuh, Desa Muara Medak, yang diduga kuat hasil illegal logging yang dihanyutkan melalui Sungai Medak dan Sungai Merang. Kayu-kayu tersebut diangkut ke beberapa industri yang berada di Sumatera Selatan dan
- Perusahaan berkedok Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) CV Marantika, tanpa mengantongi S-LK diduga kuat melakukan pemanenan kayu hasil land clearing perkebunan sawit PT Citra Sawit Hijau Subur di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. CV Marantika juga diduga kuat melakukan pemanenan kayu di luar lokasi izin, yaitu di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Kedurang seluas ± 58 Ha. Pada tahun 2019 perusahaan ini belum melakukan pemenuhan kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) kepada Negara, padahal pada tahun tersebut ditemukan adanya aktivitas pengangkutan kayu hasil tebangan.
Sementara itu, di tingkat hilir, perusahaan pengekspor produk kehutanan yang telah ber S- LK ditemukan menggunakan produk kayu yang bersumber dari perusahaan yang tidak bersertifikat, sehingga diragukan legalitasnya. Beberapa perusahaan yang terindikasi melakukan praktik ini adalah CV Indo Pratama Expres dan CV Manggalih, di Provinsi Jawa Timur. Selain itu, teridentifikasi adanya modus tidak mencantumkan jenis kayu pada dokumen yang menerangkan sahnya hasil hutan oleh oknum pemilik izin industri, memungkinkan terjadinya praktik kecurangan pemanfaatan kayu yang masuk dalam daftar CITES Appendix II, tanpa memiliki izin edar dan dokumen khusus.
Sisa proses produksi dan limbah yang belum dikelola dengan baik masih juga ditemukan. Padahal aspek ini menyangkut keberlanjutan ekologi dan kehidupan masyarakat maupun pekerja yang tinggal di sekitar industri. Seiring dengan hal tersebut, penerapan standar K3 (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja) belum dijalankan secara penuh sebagaimana diatur dalam standar penilaian/verifikasi.
Deden Pramudiana, peneliti JPIK menyatakan “Illegal logging yang terjadi di sejumlah wilayah, terutama di Rimbang Baling masih terus berlangsung meski pandemi COVID-19 sedang melanda. Pengangkutan kayu ilegal pun tidak berhenti meskipun Kepolisian Daerah (Polda) Riau melakukan operasi dan menangkap satu unit truk tronton berisi kayu hutan alam hasil pembalakan liar di Suaka Margasatwa Rimbang Baling pada bulan Mei 2020. Selain itu, kelalaian CV Marantika dalam melakukan pembayaran PSDH dan DR berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan indikasi korupsi Sumber Daya Alam (SDA) dalam penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan kayu”.
Juru kampanye JPIK, Muhammad Ichwan menegaskan “pengawasan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan dan diperkuat, sehingga bisa meminimalisir kerugian negara atas hilangnya daya dukung lingkungan (ekosistem), sumber daya hutan, serta habitat satwa liar yang dilindungi. Penguatan dan penegakan aturan, serta peningkatan integritas seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan SVLK harus digalakkan demi menjaga dan mempertahankan kepercayaan publik di dalam negeri dan di dunia internasional. Fungsi- fungsi layanan sertifikasi, terutama penyediaan data dan informasi untuk kepentingan pemantauan independen harus mudah diakses, cepat dan tepat waktu agar pemantauan berjalan efektif.
Catatan Editor:
- JPIK melakukan pemantauan di 8 provinsi (Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat). Laporan tersebut dapat diakses dan diunduh melalui jpik.or.id
- JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010, beranggotakan 64 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi SVLK
- SVLK adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, sebuah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK merupakan sistem jaminan legalitas kayu yang diakui dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA) antara Indonesia dan Uni
Kontak Untuk Wawancara:
Muhammad Ichwan : 0815-5650-8591; ichwan.jpik@gmail.com
Deden Pramudiana : 0856-5894-7260; deden.jpik@gmail.com
Sumber : Siaran Pers JPIK