Pemerintah Indonesia telah mengumumkan penghapusan kewajiban sertifikasi legal dalam perdagangan produk kayu pada akhir Februari lalu untuk mengantisipasi penurunan nilai ekspor akibat penyebaran wabah pandemi COVID-19.
Artinya, seluruh produk kayu, terutama mebel, yang berasal dari hutan Indonesia bisa dijual ke luar negeri tanpa ada jaminan apakah proses penebangan legal atau ilegal.
Penghapusan tersebut akibat desakan dari beberapa pengusaha industri mebel yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Sebagai peneliti kebijakan kehutanan, saya melihat bahwa penghapusan sertifikat legal kayu justru akan berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan pembalakan liar di Indonesia. Selain itu, kebijakan tersebut juga merugikan industri mebel sendiri.
Dampak pada pembalakan Liar
Indonesia menjadi negara dengan laju deforestasi hutan tropis tertinggi kedua setelah Brasil.
Sebagian besar diakibatkan oleh pembalakan liar atau kegiatan penebangan kayu untuk mendapatkan kayu bulat.
Pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bertujuan untuk mengurangi kegiatan pembalakan liar tersebut.
SVLK merupakan instrumen wajib yang memastikan seluruh produk kayu dan bahan baku yang diperoleh dari hutan negara atau hutan hak (contohnya, hutan rakyat) telah memenuhi aspek legalitas, seperti kejelasan asal-usul kayu, mempunyai izin penebangan, dan mematuhi sistem penebangan, pengangkutan, pengolahan, hingga perdagangan.
Persyaratan SVLK itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009 tapi baru dilaksanakan tahun 2013 karena ketidaksiapan para pemegang konsesi hutan.
Sistem ini memberikan citra positif bagi Indonesia di dunia internasional yang sebelumnya dikenal sebagai “bangsa illegal logging” pada era 1980-1990an.
Tahun 2016, Indonesia menjadi negara pertama dan satu-satunya yang memperoleh lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) dari Uni Eropa karena keberhasilan menerapkan SVLK.
Dengan dihapusnya persyaratan SVLK, bukan tidak mungkin akan semakin memarakkan praktik pembalakan liar di Indonesia.
Konsekuensi penghapusan kewajiban menyertakan dokumen V-Legal sebagai prasyarat dalam mendapatkan SVLK adalah melemahkan komitmen Indonesia dalam upaya pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.
Lemahkan posisi dagang Indonesia
Tahun 2016, Indonesia menjadi negara pertama dan satu-satunya yang memperoleh lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) dari Uni Eropa karena keberhasilan menerapkan SVLK.
Lisensi FLEGT memberikan jaminan bahwa kayu yang berasal dari negara mitra dagang Uni Eropa telah dipanen, diproses, dan diekspor sesuai dengan hukum nasional yang berlaku dan diakui legal di pasar Uni Eropa.
Dengan lisensi ini, produk kayu Indonesia memperoleh jalur hijau (green-lane) artinya bisa masuk pasar Uni Eropa tidak perlu pengecekan legalitas lagi atau due diligence.
Namun, penghapusan sertifikat legal justru berpotensi menghilangkan lisensi FLEGT yang sudah didapatkan oleh Indonesia.
Ini artinya akses jalur hijau ke pasar Uni Eropa tidak berlaku dan seluruh produk kayu Indonesia harus melalui proses pengecekan legalitas kayu.
Kondisi ini justru melemahkan industri mebel Indonesia karena produk yang akan diekspor ke Uni Eropa harus melalui pengecekan legalitas yang juga memakan waktu dan biaya.
Posisi dagang produk-produk kayu Indonesia akan kalah bersaing dengan Vietnam sebagai pesaing utama dalam ekspor produk mebel.
Sejak 1 Juni 2019, Vietnam sudah memiliki kerjasama mengikat dengan Uni Eropa, atau disebut sebagai Perjanjian Kemitraan Sukarela Voluntary Partnerships Agreement (VPA), untuk ekspor produk kayu hanya berasal dari sumber yang terjamin legalitasnya.
Padahal, Uni Eropa merupakan salah satu pasar utama industri mebel Indonesia.
Adanya instrumen legalitas kayu dapat meningkatkan kepercayaan pasar terhadap produk mebel Indonesia, terlebih satu persatu negara mulai menerapkan regulasi kontrol kayu legal.
Skala global
Saat ini, legalitas kayu menjadi tren global dan mempengaruhi diskursus kebijakan global karena pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal dianggap sebagai penyebab kerusakan hutan dunia.
Berbagai negara, seperti Britania Raya, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang telah memiliki standar legalitas kayu.
Korea Selatan dan Vietnam, sedang mengembangkan standar legalitas kayu.
Sementara, Cina sedang merevisi Undang-Undang Kehutanan yang akan melarang pembelian, proses, atau pengangkutan kayu ilegal sejak 28 Desember 2019.
Menghapuskan sertifikat legal produk kayu atas alasan pelambatan ekonomi karena coronavirus merupakan langkah mundur bagi upaya pemberantasan pembalakan liar yang sudah puluhan tahun diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Di saat berbagai negara tengah mengembangkan skema verifikasi dan legalitas kayu, Indonesia justru sebaliknya.
Penghapusan dokumen V-Legal berpotensi mengurangi kepercayaan negara pengimpor terhadap legalitas kayu Indonesia, apalagi mayoritas negara pengimpor merupakan negara yang telah atau sedang mengembangkan instrumen verifikasi legalitas kayu.
Artikel ini telah ditayangankan melalui : https://theconversation.com/penghapusan-syarat-lisensi-kayu-bisa-tingkatkan-penebangan-liar-dan-beri-citra-buruk-pada-produk-mebel-lokal-136509