Manajemen risiko tidak lagi merupakan kebutuhan tetapi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap organisasi sebagai pembuktian kinerja prima dan tangguh yang berdaya tahan tinggi dalam menghadapi berbagai kondisi, bahkan pada situasi kritis.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 31000:2011 Manajemen Risiko, yang mengadopsi secara identik standar internasional ISO 31000:2009. Standar ISO 31000 itu sendiri merupakan bagian dari seri standar manajemen risiko yang terdiri terdiri dari 4 (empat) standar yaitu ISO 31000:2009 Risk management — Principles and guidelines; ISO Guide 73:2009 Risk management — Vocabulary; ISO/TR 31004:2013 Risk management — Guidance for the implementation of ISO 31000; serta ISO/IEC 31010:2009 Risk management — Risk assessment techniques. Penetapan SNI itu menandai langkah besar BSN untuk memberikan kontribusi nyata pada pembangunan bangsa dan negara Indonesia terutama dalam menjaga kemampuan daya saing nasional di tingkat regional dan global melalui pengembangan SNI.
Meskipun demikian, seri standar SNI ISO 31000 sebagai suatu dokumen nasional, tidak akan memberikan kontribusi optimal bagi bangsa dan negara bila tidak disertai suatu usaha untuk mensosialisasikan standar tersebut sehingga dapat dikenal, diterima secara terbuka, diterapkan secara luas serta menjadi pertimbangan dan rujukan bagi para regulator dalam pembuatan peraturan-peraturan yang terkait dengan penerapan manajemen risiko, baik di lembaga pemerintahan itu sendiri atau di industri. Oleh sebab itu, mengambil momentum Rapat Konsensus Komite Teknis 03-10 Perumusan SNI Manajemen Resiko yang dilaksanakan di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) – Jakarta, Kamis (19/05/2016), BSN menyebarluaskan informasi seri standar SNI ISO 31000 kepada media massa.
Rapat konsensus kali ini cukup istimewa karena diawali dengan Pembukaan Perdagangan Bursa Efek yang ke-94 oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya. Hal ini tidak lepas dari peran aktif pihak Bursa Efek Indonesia yang menyadari bahwa sosialisasi penerapan aspek manajemen risiko perlu didukung penuh. Pembukaan perdagangan tepat dilakukan pada pukul 09.00 WIB oleh Bambang Prasetya didampingi Direktur Utama BEI Tito Sulistio, Jajaran Direksi BEI, Ketua Komtek 03-10 Antonius Alijoyo, serta Kepala Bidang Lingkungan dan Serbaneka – BSN Hendro Kusumo, selaku Sekretaris Komtek 03-10.
Dengan tersedianya acuan seri standar manajemen risiko yang sangat dibutuhkan oleh berbagai komunitas bisnis, pemerintahan, akademisi, dan kalangan luas masyarakat Indonesia, diharapkan bangsa Indonesia agar dapat bersaing di tingkat regional dan global secara efektif dan bahkan dimungkinkan untuk menjadi pemimpin regional untuk bebeberapa sektor industri dan jasa keuangan/non keuangan.
Agar dapat diterapkan dengan baik, keberadaan seri standar SNI ISO 31000 disebarluaskan kepada berbagai pihak yang sangat terkait secara langsung, seperti: Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Kementerian/Lembaga, kalangan perbankan, asuransi, pertambangan, migas dan lain-lain.
Pemangku kepentingan ini memerluan acuan baku sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan berbagai regulasi/pengaturan turunan lain yang diperlukan terkait dengan penerapan standar manajemen risiko di tingkat kementerian/lembaga atau di tingkat organisasi yang menjadi tanggung-jawab mereka. Selain itu, pemangku kepentingan tersebut, juga berharap adanya sinergi di level nasional, yang diharapkan dapat dikoordinasikan oleh BSN, sehingga program kerja pengembangan manajemen risiko dapat dikelola dengan baik secara lintas kementerian/lembaga.
Secara umum, pengelolaan manajemen risiko memang harus dilakukan oleh semua pihak, khususnya yang terkait dengan pemberian keyakinan akan kompetensi dan kapabilitas lembaga/organisasi kepada mitranya, sebagai contoh:
1. Industri jasa keuangan
Kalangan industri jasa keuangan (IJK) yang sudah menerapkan beragam regulasi nasional tentang manajemen risiko spesifik dalam bidang perbankan, asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Untuk menghadapi tantangan regional – MEA dan global, IJK memerlukan satu rujukan dasar nasional yang kuat dalam proses adaptasi mereka terhadap berbagai tuntutan dan dinamika pelaksanaan manajemen risiko di tingkat regional dan global sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menghadapi gempuran persaingan dengan pihak penyedia jasa keuangan yang berasal dari negara-negara lain.
Selain bertahan, IJK Indonesia juga perlu sandaran kokoh akan acuan standar manajemen risiko yang setara dengan standar internasional yaitu ISO 31000 sehingga dapat lebih agresif dan proaktif dalam ekspansi usaha mereka di manca-negara.
2. Kalangan penyedia jasa kesehatan
Bagi penyedia pelayanan jasa kesehatan nasional seperti BPJS Kesehatan yang menyentuh hajat hidup orang banyak, perlu mengelola aspek risikonya yaitu mulai dari pengelolaan asuransi kesehatan nasional, penataan jaringan penyedia jasa kesehatan nasional seperti jaringan rumah sakit dan ketersediaan tenaga medik serta obat-obatan, dan lain sebagainya. Penerapan manajemen risiko untuk sektor ini akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan nasional dalam mendukung program pemerintah untuk membuat bangsa Indonesia lebih sehat dan makmur sehingga mampu bersaing di tingkat dunia.
3. Kalangan penyedia jasa ketenagakerjaan
Bagi penyedia pelayanan kesejahteraan tenaga kerja yaitu program BPJS Ketenagakerjaan yang menjadi tonggak harapan tenaga kerja seluruh Indonesia dan juga pemerintah Indonesia, pengelolaan aspek risiko dapat dimanfaatkan dalam mendorong terciptanya tenaga kerja Indonesia yang sehat, berkualitas, dan terjamin masa depannya.
Penerapan manajemen risiko untuk sektor ini akan dapat meningkatkan efektifitas BPJS Ketenagakerjaan, baik dalam operasional mereka maupun dalam pengelolaan dana BPJS yang jumlahnya puluhan dan bahkan dapat mencapai ratus triliun rupiah.
4. Kalangan pemerintah daerah
Kalangan pemerintah daerah saat ini tidak memiliki acuan standar apapun sementara tuntutan modernisasi semakin meningkat, misal penerbitan obligasi oleh pemerintah daerah, dan semakin banyaknya usaha BUMD yang harus dikelola secara profesional dengan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen risiko secara efektif.
Tanpa adanya penerapan standar manajemen risiko di tingkat pemerintahan daerah, penerbitan obligasi daerah akan dapat menjadi titik rawan bocornya APBN bila harus digunakan menjadi cadangan terakhir karena terjadi gagal bayar obligasi daerah tersebut.
5. Kalangan BUMN
Kalangan BUMN saat ini sudah memiliki beberapa peraturan terkait dengan penerapan GCG dan manajemen risiko tetapi belum memiliki standar acuan yang seragam yang dapat dipakai oleh mereka secara efektif. Apalagi untuk sektor infrastruktur yang saat ini lagi ‘booming’, akan sangat memerlukan pengelolaan aspek risiko dengan sangat cermat.
Dengan adanya standar manajemen risiko SNI ISO 31000, BUMN yang saat ini adalah lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan dapat dikelola sedemikian rupa sehingga dapat bersaing di tingkat regional dan global. Harapannya adalah pada akhirnya akan membuat para BUMN mampu menciptakan peluang-peluang bisnis yang kompetitif, menciptakan nilai-nilai ekonomis, sosial dan ramah lingkungan dalam perjalanan mereka menjadi BUMN berkelas dunia.
6. Kalangan akademisi
Kalangan akademik saat ini tidak memiliki standar nasional yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan silabus mata ajaran/kuliah manajemen risiko sehingga terjadi variasi dan ketimpangan yang sangat besar dari segi pengembangan pengetahuan dan kompetensi SDM dalam bidang kajian manajemen risiko. Hal ini akan berdampak sangat serius terhadap kemampuan bersaing mereka di arena regional, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN dan global, terutama Trans Pacific dan G20.
Adanya standarisasi manajemen risiko akan membantu keseragaman silabus dasar manajemen risiko yang nantinya akan menjadi pondasi kokoh pengetahuan para akademisi kita tentang manajemen risiko yang telah berlaku di tingkat regional dan global. Yang patut dicatat di sini adalah semua pengembangan standar internasional terkait sistem manajemen seperti ISO 9001 untuk mutu, ISO 14001 untuk lingkungan; ISO 22000 untuk keamanan pangan; ISO 27001 untuk keamanan informasi; ISO 45001 untuk keselamatan dan kesehatan kerja; ISO 50001 untuk efisiensi energi; dan lain-lain, senantiasa mengacu pada High Level Structures (HLS) yang ditetapkan ISO. Selain itu juga selalu memasukkan klausul didalamnya dengan perhatian terhadap pengelolaan risiko sesuai sektornya dengan mengacu pada ketentuan yang ada pada ISO 31000. Dengan demikian ISO 31000 akan selalu merupakan rujukan utama bagi lintas sektor.
BSN siapkan langkah strategis terkait Manajemen Resiko
Langkah besar BSN telah diawali dengan pembentukan Komite Teknis 03-10 Manajemen risiko, yang akan fokus pada penyiapan SNI yang mengadopsi standar internasional publikasi ISO/TC 262 Risk management. Selanjutnya juga telah diikuti dengan pembentukan National Mirror Committee (NMC) ISO/TC 262, sebagai forum penguatan partisipasi Indonesia dalam pengembangan standar internasional, sehingga Indonesia tidak hanya sebagai “standard taker” tapi dapat beralih ikut mewarnai pengembangan standar internasional sebagai drafter.
Rencana pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Manajemen Risiko yang beranggotakan para pengambil kebijakan dari seluruh pemangku kepentingan terkait, akan dijadikan sebagai forum untuk penyusunan kebijakan, program dan implementasi manajemen risiko di Indonesia. BSN telah berpengalaman membentuk beberapa Komnas terkait standardisasi dan penilaian kesesuaian, seperti Komnas Elektroteknika-IEC, Komnas Kodeks pangan-CAC, dan komnas lainnya sesuai dengan sektor masing-masing.
Sumber : http://www.thequality.co.id/
Artikel ini telah ditayangkan di:
http://www.thequality.co.id/index.php/home/post/572/penerapan-standar-manajemen-resiko-dukung-daya-saing-bangsa