Jakarta, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), melalui Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves saat ini tengah melaksanakan koordinasi membahas pengaturan Dokumen V-Legal pada ketentuan ekspor produk industri kehutanan, menghasilkan kesepakatan untuk membatalkan Permendag Nomor 15 tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang akan berlaku pada tanggal 27 Mei 2020.
“Dokumen V-Legal adalah produk dari sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). SVLK perwujudan good forest governance, berhasil merubah ‘image’ buruk pada pengelolaan hutan di Indonesia. Disamping itu, pasar UE, USA, Jepang, Korea, Australia, dan Tiongkok mensyaratkan jaminan legalitas kayu. Sejak tahun 2013, legalitas kayu Indonesia sudah mulai dipercaya yang terlihat pada data ekspor kayu olahan yang semakin meningkat,” kata Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, Nani Hendiarti.
Pembahasan terkait pembatalan Pemendag Nomor 15 tahun 2020 muncul karena adanya respon negatif dari dalam dan luar negeri. Respon negatif tersebut datang dari Delegasi Uni Eropa untuk RI dan Brunei Darussalam, CEI-Bois Europian Confederation of the Woodworking Industries, Asosiasi produk kayu untuk pasar Amerika Utara International Wood Products Association (IWPA), Australian Timber Importers Federation (ATIF), Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Forest Watch Indonesia (FWI), Yayasan KEHATI, dan SEBIJAK Institut. Mereka menilai bahwa Permendag Nomor 15 tahun 2020 merupakan langkah mundur bagi pengelolaan kehutanan Indonesia karena menghapus syarat kelengkapan Dokumen V-Legal pada ketentuan ekspor produk industri kehutanan, hal ini akan membuka kembali peluang aktivitas illegal logging.
Menurut Undang-Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan menyatakan komitmen pemerintah dan DPR bahwa illegal logging tidak boleh terjadi lagi, terdapat pasal penguatan sistem verifikasi dan sertifikasi legal atas kayu yang diakui secara internasional. Melalui UU tersebut, Indonesia ingin membuktikan tidak ada lagi illegal logging dan semua bahan baku yang diolah di industri bersumber dari kayu yang legal.
Kemudian, atas pengakuan dunia internasional, Presiden menandatangani FLEGT-VPA dengan UE dan dokumen V-legal sebagai komitmen yang menghasilkan Perpres 21 Tahun 2014, menyebutkan bahwa Indonesia menjamin legalitas kayu ke seluruh tujuan ekspor yang dibuktikan dengan dokumen V-legal.
“Ini merupakan kesempatan untuk meraih kembali kebersamaan dalam membuktikan bahwa ekspor kayu olahan menjadi harapan Indonesia di masa yang akan datang, nantinya investasi yang akan didorong adalah menguatkan hulu dan hilir. Pengelolaan sumber daya hutan juga memerlukan kebijakan yang menutup celah bagi pelaku illegal logging. Untuk itu, tetap diperlukan upaya yang ketat melalui regulasi intersektor maupun antar sektor, hendaknya ada kesinkronan dan perlu ada irisan yang membuat kebijakan tersebut saling melengkapi,” tambah Plt. Deputi Nani.
Hingga saat ini telah 7 (tujuh) kali diselenggarakan rapat koordinasi teknis dengan kementerian terkait yakni Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian LHK, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Guru Besar Kehutanan IPB dan UGM, maupun lembaga non-pemerintahan.
Rapat koordinasi virtual tingkat Menteri pada tanggal 22 Mei 2020, dihadiri Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Bidang Perekonomian, Sekjen Kementerian LHK, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu serta Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, secara khusus membahas pengaturan Dokumen V-Legal pada ketentuan ekspor produk industri kehutanan, yang mana pada rakor teknis 30 April 2020 menghasilkan kesepakatan untuk membatalkan Pemendag Nomor 15 tahun 2020. Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag Nomor 45 Tahun 2020 tentang Pencabutan Pemendag Nomor 15 tahun 2020, sehingga Permendag Nomor 84/M-DAG/PER/12/2016 masih tetap berlaku. Kesepakatan lainnya adalah Kementerian LHK akan membuat aturan pelaksanaan SVLK yang mudah dan murah, serta insentif untuk industri IKM/UKM.
Adapun hal-hal yang perlu pembahasan dan dikoordinasikan lebih lanjut antara lain ; Pertama, penegasan jenis kayu meranti dan merbau sebagai bahan baku industri dan ketentuan luas penampang pada ketentuan teknis produk industri kehutanan yang tidak menimbulkan penafsiran berbeda. Kedua, merumuskan penyempurnaan sistem verifikasi legalitas kayu yang mengintegrasikan hulu dan hilir dalam rangka pengelolaan produk hutan berkelanjutan, menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri, serta kemudahan proses dan insentif bagi IKM/UKM. Ketiga, Kementerian LHK akan merancang cluster industry dari hulu dan hilir di satu provinsi, termasuk mendorong hulu dan hlir kayu merbau Papua dan Maluku. Keempat, juga menjadi concern adalah perjanjian RI-UE pada pasal 10 FLEGT-VPA, yang mewajibkan legalitas kayu untuk diekspor ke Uni Eropa, tetapi sebaliknya jika impor dari UE juga perlu diwajibkan legalitasnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan efektif bekerja sejak pertengahan Maret 2020 berdasarkan Peraturan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Nomor 2 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Salah satu tugas Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan adalah menyelenggarakan koordinasi dan sinkronisasi pengendalian pelaksanaan kebijakan K/L yang terkait dengan isu di bidang kehutanan.
Sumber : SIARAN PERS KEMENKOMARVES
No.SP-59/HUM/ROKOM/SET-MARVES/VI/2020
Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi