Pandemi Covid-19 melemahkan perekonomian nasional maupun internasional. Berbagai sektor bisnis mengalami perlambatan mulai dari sektor pariwisata, penerbangan, perhotelan, farmasi, alat berat, otomotif, perkebunan hingga pertambangan. Bagaikan sebuah perfect storm, konsumsi rumah tangga atau daya beli yang merupakan penopang 60 persen ekonomi jatuh cukup dalam, data BPS mencatatkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh negatif hingga 5,51% pada kuartal II-2020, dibandingkan pada 2019 dalam periode yang sama. Padahal kuartal I-2020 masih berada di titik 2,83%.
Begitupun dengan ekspor Indonesia ke berbagai negara, dampak melemahnya ekonomi ini dirasakan langsung oleh para pelaku usaha, salah satunya adalah sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) bidang industri meubel dan kerajian. Studi kasus di Yogyakarta, survey Asosiasi Pengusaha Meubel Indonesia (ASMINDO) menunjukan bahwa UKM industri meubel dan kerajinan di Yogyakarta mengalami penundaan order hingga 60 persen untuk pasar domestik senilai Rp 28,9 miliar dan 86 persen untuk pasar ekspor senilai Rp 38,9 miliar. Sedangkan sebanyak 30 persen mengalami pembatalan order pasar domestik senilai Rp 16,3 miliar dan 40 persen pesanan pasar ekspor senilai Rp 28,2 miliar. Apabila belum ada solusi konkrit, bukan tidak mungkin sektor ini akan mengalami kelumpuhan dan berdampak makin luas. Indikasinya berupa penurunan penjualan, berkurangnya cadangan kas dan melakukan efisiensi, seperti merumahkan karyawan, mengurangi jam kerja hingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pemerintah menyadari perlu penanganan serius untuk mengatasi krisis kesehatan, sosial, dan keuangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Prioritas Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 pun didorong untuk menjadi prioritas dalam mendukung penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Selain melalui jaring pengaman sosial, strategi lainnya adalah dengan mendorong konsumsi dan produksi pada sektor UKM.
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagai salah satu pendorong pemulihan ekonomi
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah mencapai 25 persen. Secara total, pemerintah mengalokasikan dana untuk mengembalikan geliat perekonomian di tengah pandemi Covid-19 sebesar Rp. 695 triliun. Salah satunya melalui belanja barang dan jasa yang strateginya dibagi menjadi tiga pilar.
Pilar pertama adalah akselerasi eksekusi program PEN, salah satu penekanan yang dilakukan adalah mempercepat dan memperbaiki sasaran program existing yang telah memiliki alokasi DIPA. Pilar kedua memperkuat konsumsi pemerintah yang salah satunya memperkuat belanja pegawai, belanja barang, dan relaksasi kebijakan pengadaan barang dan jasa. Kemudian pilar ketiga, memperkuat konsumsi masyarakat salah satunya dengan mengakselerasi belanja bantuan sosial.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu penggerak penting yang memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, belanja kebutuhan furnitur khususnya kursi di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta, pada periode 2018-2019 yang mencapai Rp. 11 Miliar rupiah. Angka ini apabila dilihat secara makro tentu saja berpengaruh pada perputaran ekonomi para pelaku usaha yang didominasi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) yang tidak hanya industri atau pengrajin tetapi hingga rantai pasok dan distribusinya.
Pola Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diharapkan mampu menyelamatkan Indonesia dari jurang krisis, namun di sisi lain apakah kebijakan ini juga mampu mendorong Indonesia menuju pada pembangunan yang berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan? Tentunya ada relevansi yang dapat dimaksimalkan untuk mendorong keduanya.
Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terkait penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadi percontohan bagi daerah lain. Dari 34 provinsi, DIY merupakan provinsi kedua yang telah menyusun RAD SDGs 2018-2022, sebuah pencapaian yang luar biasa dimana kesadaran tentang masa depan sudah sangat baik dilakukan.
Salah satu TPB adalah menjamin pola produksi dan konsumsi yang bertanggungjawab (Tujuan 12). Dalam rangka mencapai tujuan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab pada tahun 2030, pada dokumen RAN ditetapkan 11 target yang diukur melalui 19 indikator. Salah satu strategi untuk mencapai Tujuan 12 di Provinsi D.I. Yogyakarta adalah Inventarisasi dan sinkronisasi kebijakan sektor-sektor prioritas terkait dengan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan.
Implementasi dari Pola Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab memang tidak mudah, terlebih pada saat menghadapi krisis, namun jika dikaitkan antara upaya pemulihan ekonomi melalui belanja barang dan jasa pemerintah, Tujuan 12 ini sangat relevan dimana aktor-aktor kunci dituntut untuk memiliki kreativitas tinggi, satu sisi dalam perspektif pemulihan ekonomi dan perspektif lain adalah pembangunan berkelanjutan.
“Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” peribahasa ini sangat tepat apabila sinkronisasi pemulihan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan diwujudkan dalam tataran regulasi yang efektif dan efisien. Perlu kesadaran, kesamaan visi dan kemauan tinggi dari para pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkannya. (red)